Mekanisme termoregulasi akan bekerja sangat keras saat aktivitas fisik yang berat (terjadi peningkatan produksi panas tubuh) dan/atau dalam lingkungan dengan temperatur yang tinggi atau panas (terjadi penurunan net heat loss). Berbeda dengan saat demam, temperatur inti tubuh tidak dapat dipertahankan pada set level 37°C dan timbul hipertermia (→A, bagian atas). Saat berdiri, vasodilatasi yang diinduksi oleh panas menyebabkan darah berkumpul di kaki, dan volume ekstraseluler berkurang karena berkeringat. Oleh karena itu, cardiac output (CO) dan tekanan darah menurun,terutama karena vasodilatasi pada kulit menurunkan resistensi vaskular perifer. Bahkan pada suhu inti di bawah 39°C, lemas, pusing, mual (nausea), dan kehilangan kesadaran dapat terjadi karena penurunana tekanan darah (heat collapse;→A1). Tekanan darah akan meningkat lagi saat berbaring dan setelah mendapatkan cairan.
Akan sangat berbahaya jika suhu inti tubuh mencapai 40,5°C, karena otak tidak dapat menoleransi temperatur tubuh setinggi itu. Untuk melindungi diri dari terjadiny heat stroke, otak untuk sementara dapat dijag untuk tetap lebih dingin dari pada bagian tubuh lain dengan keringat yang banyak pada kepala (bahkan pada saat dehidrasi), terutama bagian wajah (→A2). Darah yang telah didinginkanakan mencapai endocranial venous system dan sinus cavernosus, dimana mekanisme ini akan menurunkan suhu arteri selanjutnya. Mekanisme ini dapat terlihat pada pelari marathon yang tidak mengalami heat stroke pada peningkatan suhu inti tubuh sementara yaitu 41,9°C.
Jika terdapat peningkatan suhu inti tubuh 40,5 dan 43°C yang lama (prolong), pusat termoregulasi di midbrain akan gagal dan keringat akan berhenti. Disorientasi, apatis, dan kehilangan kesadaran terjadi (heat stroke). Cerebral edema yang disertai kerusakan pada sistem saraf sentral akan menyebabkan kematian. Anak-anak sangat beresiko dalam hal ini karena area permukaan tubuh terhadap body mass ratio-nya lebih besar dibanding dengan orang dewasa, selin itu anak-anak juga cenderung menghasilkan keringat yang sedikit. Penanganan heat stroke dapat dilakukan dengan membawa orang tersebut ke ruangan yang lebih dingin dan/atau membenamkan tubuhnya ke dalam air yang lebih dingin. Akan tetapi, permukaan tubuh tidak boleh terlalu dingin, karena akan menyebabkan vasokonstriksi yang akan memperlambat penurunan suhu tubuh inti. Penanganan heat stroke yang berhasilpun pada akhirnya juga dapat meninggalkan kerusakan pada pusat termoregulasi tubuh. Sehingga akan membatasi toleransi tubuh terhadap perubahan suhu yang ekstrim.
Hipertermi malignan(→B) merupakan kerusakan genetik heterogen yang mematikan. Gen tersebut mengatur transport Ca2+ sarkoplasmik melalui Ca2+-releasing channel (ryanodine receptor). Beberapa anestesi inhalasi (halothane, enflurane, isoflurane) dan depolarizing muscle relaxantmuscle relaxant, kemudian diberikan dantrolene, yang dapat menghambat Ca2+ release pada sel otot skelet sehingga akan mebantu mendinginkan tubuh. (suxamethonium chloride) akan menyebabkan Ca2+ release yang cepat dan tiba-tiba dari retikulum sarkoplasma sehingga kontraksi otot yang tak terkoordinasi terjadi dengan konsumsi oksigen yang tinggi dan produksi panas yang banyak. Akibatnya, timbul asidosis, hiperkalemia, takikardi, aritmia, dan hipertermi yang menigkat sangat cepat. Jika dapat dideteksi secara dini, hipertermi malignan dapat ditangani dengan menghentikan pemberian anestesi dan/atau
Heat cramp terjadi karena aktivitas fisik yang berat pada temperatur lingkungan yang tinggi jika hanya kehilangan cairan tubuh,bukan garam, maka akan dapat dipulihkan.
Sun stroke harus dibedakan dari hipertermia. Sun stroke disebabkan oleh radiasi matahari langsung pada kepala dan leher sehingga menimbulkan nausea, pusing, nyeri kepala berat, cerebral hiperemia, dan meningitis dan dapat berakibat fatal.
Paparan terhadap radiasi atau kontak langsung terhadap panas dapat menyebabkan luka bakar dalam berbagai derajat: derajat satu, dua dan tiga (merah, melepuh, dan nekrosis) pada kulit. Paparan radiasi yang terlalu lama dan sering dapat meningkatkan resiko terjadinya melanoma.
Silbernagl,S. & Lang,F. (2000) Color Atlas of Pathophysiology, New York: Thieme.