Senin, 08 Maret 2010

Patofisiologi Demam


Tujuan termoregulasi adalah untuk mempertahankan suhu inti tubuh yang sebenarnya (actual core temperature) pada set level sekitar 37°C (dengan berbagai variasi diurnal). Saat timbul demam, set level akan ditingkatkan, dan mekanisme termoregulasi akan berusaha untuk menaikkan suhu tubuh (A5, garis hijau). Karena suhu tubuh menyimpang dari set level yang naik tiba-tiba, tubuh akan bereaksi dengan menurunkan aliran darah kutaneus (cutaneous blood flow) untuk mengurangi kehilangan panas sehingga akan menimbulkan rasa dingin. Kemudian, produksi panas akan ditingkatkan dengan cara menggigil (tremor). Mekanisme tersebut akan berlangsung sampai suhu tubuh (A5, garis merah) mencapai set level yang baru (plateau). Ketika demam turun, set level juga akan turun, sehingga suhu tubuh yang saat ini sangat tinggi dan aliran darah kutaneus meningkat,menyebabkan seseorang akan merasa panas dan berkeringat sangat banyak (A5).


Demam sering terjadi karena infeksi terutama selama fase akut dimana substansi yang dapat menginduksi demam (pirogen) menyebabkan perubahan set point. Pirogen eksogen seperti kompleks lipopolisakarida (endotoksin) yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif sangat cepat menimbulkan proses tersebut. Patogen atau pirogen ini akan diopsonisasi oleh komplemen dan difagositosis oleh makrofag, seperti sel Kupffer di hati (A1). Selanjutnya, beberapa sitokin yang merupakan pirogen endogen akan dilepaskan, antara lain interleukin 1α, 1β, 6, 8, and 11, interferon α2 and γ, tumor necrosis factors TNFα (cachectin) dan TNFβ (lymphotoxin), macrophage-inflammatory protein MIP 1 dan sebagainya. Diduga bahwa sitokin mencapai jaringan otak sekitar ventrikular (circumventricular organs of the brain)yang tidak memiliki sawar darah otak (blood brain barrier). Oleh karena itu, sitokin dapat menyebabkan reaksi demam pada organ tersebut atau yang dekat pada area preoptic dan organum vasculosum lamina terminalis (OVLT) dengan menggunakan prostaglandin PGE2 (A2). Obat penurun panas (antipiretik) bekerja dalam proses ini. Sebagai contoh, asam asetilsalisilat dapat menghambat enzim yang merubah asam arakhidonat menjadi PGE2 (cyclooksigenase 1 dan 2).


Pada injeksi i.v. lipopolisakarida, sitokin-sitokin yang telah disebutkan sebelumnya ditemukan hanya 30 menit setelah onset demam dan kemunculannya dapat dihambat dengan subdiaphrgmatic vagotomy. Hal ini menunjukkan bahwa pirogen eksogen mengaktifkan area preoptik dan OVLT juga melalui serabut aferen dari abdomen. Kemungkinan substansi pemberi sinyal yang dilepaskan dari sel Kupffer hepatik (? cytokines, ? PGE2) mengaktifkan dekat serabut-serabut aferen vagal yang mengirimkan sinyal pirogen melalui nukleus solitarius ke kelompok sel norepinefrin A1 dan A2. Kemudian akan berjalan dari ventral norepinefrine tract ke neuron yang mengatur panas di area preoptik dan OVLT (A3). Norepinefrin yang telah dilepaskan di daerah tersebut menyebabkan pembentukan PGE2 dan menimbulkan demam. Selain itu, epinefrin juga menyebakan pelepasan adiuretin (ADH; efek reseptor V1), α-melanocyte-stimulating hormone (α-MSH), dan corticotropin-releasing hormone corticoliberin (CRH), yang akan meredakan demam melalui feedback negatif dalam pembentukan antipiretik endogen (A4).


Demam dapat menyebabkan berbagai macam efek seperti peningkatan heart rate (8-12 kali/menit tiap kenaikan 1°C) dan metabolisme energi, sehingga mengakibatkan rasa lelah, nyeri sendi dan kepala, peningkatan gelombang rendah saat tidur atau slow-wave sleep (yang merupakan fungsi penyembuhan pada otak). Dan pada beberapa keadaan dapat menyebabkan gangguan kesadaran dan mental (fever delirium) dan kejang.


Demam bermanfaat untuk melawan infeksi. Peningkatan suhu tubuh akan menghambat replikasi bahkan mematikan beberapa patogen. Selain itu, konsentrasi Fe, Zn, dan Cu dalam plasma akan menurun dan sel-sel diserang oleh virus akan dihancurkan, sehingga replikasi virus akan terhambat. Oleh karena itu, penggunaan antipiretik hanya digunakan jika demam dapat menimbulkan febrile convultion (kejang demam), yang sering terjadi pada bayi dan balita, atau suhu tubuh meningkat sangat tinggi (> 39°C) sehingga dapat menyebabkan kejang.



Silbernagl, S. & Lang,F. (2000) Color Atlas of Pathophysiology, New York: Thieme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar