Selasa, 09 Maret 2010

HYPERTHERMIA, HEAT INJURY


Mekanisme termoregulasi akan bekerja sangat keras saat aktivitas fisik yang berat (terjadi peningkatan produksi panas tubuh) dan/atau dalam lingkungan dengan temperatur yang tinggi atau panas (terjadi penurunan net heat loss). Berbeda dengan saat demam, temperatur inti tubuh tidak dapat dipertahankan pada set level 37°C dan timbul hipertermia (→A, bagian atas). Saat berdiri, vasodilatasi yang diinduksi oleh panas menyebabkan darah berkumpul di kaki, dan volume ekstraseluler berkurang karena berkeringat. Oleh karena itu, cardiac output (CO) dan tekanan darah menurun,terutama karena vasodilatasi pada kulit menurunkan resistensi vaskular perifer. Bahkan pada suhu inti di bawah 39°C, lemas, pusing, mual (nausea), dan kehilangan kesadaran dapat terjadi karena penurunana tekanan darah (heat collapse;A1). Tekanan darah akan meningkat lagi saat berbaring dan setelah mendapatkan cairan.


Akan sangat berbahaya jika suhu inti tubuh mencapai 40,5°C, karena otak tidak dapat menoleransi temperatur tubuh setinggi itu. Untuk melindungi diri dari terjadiny heat stroke, otak untuk sementara dapat dijag untuk tetap lebih dingin dari pada bagian tubuh lain dengan keringat yang banyak pada kepala (bahkan pada saat dehidrasi), terutama bagian wajah (A2). Darah yang telah didinginkanakan mencapai endocranial venous system dan sinus cavernosus, dimana mekanisme ini akan menurunkan suhu arteri selanjutnya. Mekanisme ini dapat terlihat pada pelari marathon yang tidak mengalami heat stroke pada peningkatan suhu inti tubuh sementara yaitu 41,9°C.


Jika terdapat peningkatan suhu inti tubuh 40,5 dan 43°C yang lama (prolong), pusat termoregulasi di midbrain akan gagal dan keringat akan berhenti. Disorientasi, apatis, dan kehilangan kesadaran terjadi (heat stroke). Cerebral edema yang disertai kerusakan pada sistem saraf sentral akan menyebabkan kematian. Anak-anak sangat beresiko dalam hal ini karena area permukaan tubuh terhadap body mass ratio-nya lebih besar dibanding dengan orang dewasa, selin itu anak-anak juga cenderung menghasilkan keringat yang sedikit. Penanganan heat stroke dapat dilakukan dengan membawa orang tersebut ke ruangan yang lebih dingin dan/atau membenamkan tubuhnya ke dalam air yang lebih dingin. Akan tetapi, permukaan tubuh tidak boleh terlalu dingin, karena akan menyebabkan vasokonstriksi yang akan memperlambat penurunan suhu tubuh inti. Penanganan heat stroke yang berhasilpun pada akhirnya juga dapat meninggalkan kerusakan pada pusat termoregulasi tubuh. Sehingga akan membatasi toleransi tubuh terhadap perubahan suhu yang ekstrim.


Hipertermi malignan(B) merupakan kerusakan genetik heterogen yang mematikan. Gen tersebut mengatur transport Ca2+ sarkoplasmik melalui Ca2+-releasing channel (ryanodine receptor). Beberapa anestesi inhalasi (halothane, enflurane, isoflurane) dan depolarizing muscle relaxantmuscle relaxant, kemudian diberikan dantrolene, yang dapat menghambat Ca2+ release pada sel otot skelet sehingga akan mebantu mendinginkan tubuh. (suxamethonium chloride) akan menyebabkan Ca2+ release yang cepat dan tiba-tiba dari retikulum sarkoplasma sehingga kontraksi otot yang tak terkoordinasi terjadi dengan konsumsi oksigen yang tinggi dan produksi panas yang banyak. Akibatnya, timbul asidosis, hiperkalemia, takikardi, aritmia, dan hipertermi yang menigkat sangat cepat. Jika dapat dideteksi secara dini, hipertermi malignan dapat ditangani dengan menghentikan pemberian anestesi dan/atau


Heat cramp terjadi karena aktivitas fisik yang berat pada temperatur lingkungan yang tinggi jika hanya kehilangan cairan tubuh,bukan garam, maka akan dapat dipulihkan.


Sun stroke harus dibedakan dari hipertermia. Sun stroke disebabkan oleh radiasi matahari langsung pada kepala dan leher sehingga menimbulkan nausea, pusing, nyeri kepala berat, cerebral hiperemia, dan meningitis dan dapat berakibat fatal.


Paparan terhadap radiasi atau kontak langsung terhadap panas dapat menyebabkan luka bakar dalam berbagai derajat: derajat satu, dua dan tiga (merah, melepuh, dan nekrosis) pada kulit. Paparan radiasi yang terlalu lama dan sering dapat meningkatkan resiko terjadinya melanoma.



Silbernagl,S. & Lang,F. (2000) Color Atlas of Pathophysiology, New York: Thieme.

Senin, 08 Maret 2010

Patofisiologi Demam


Tujuan termoregulasi adalah untuk mempertahankan suhu inti tubuh yang sebenarnya (actual core temperature) pada set level sekitar 37°C (dengan berbagai variasi diurnal). Saat timbul demam, set level akan ditingkatkan, dan mekanisme termoregulasi akan berusaha untuk menaikkan suhu tubuh (A5, garis hijau). Karena suhu tubuh menyimpang dari set level yang naik tiba-tiba, tubuh akan bereaksi dengan menurunkan aliran darah kutaneus (cutaneous blood flow) untuk mengurangi kehilangan panas sehingga akan menimbulkan rasa dingin. Kemudian, produksi panas akan ditingkatkan dengan cara menggigil (tremor). Mekanisme tersebut akan berlangsung sampai suhu tubuh (A5, garis merah) mencapai set level yang baru (plateau). Ketika demam turun, set level juga akan turun, sehingga suhu tubuh yang saat ini sangat tinggi dan aliran darah kutaneus meningkat,menyebabkan seseorang akan merasa panas dan berkeringat sangat banyak (A5).


Demam sering terjadi karena infeksi terutama selama fase akut dimana substansi yang dapat menginduksi demam (pirogen) menyebabkan perubahan set point. Pirogen eksogen seperti kompleks lipopolisakarida (endotoksin) yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif sangat cepat menimbulkan proses tersebut. Patogen atau pirogen ini akan diopsonisasi oleh komplemen dan difagositosis oleh makrofag, seperti sel Kupffer di hati (A1). Selanjutnya, beberapa sitokin yang merupakan pirogen endogen akan dilepaskan, antara lain interleukin 1α, 1β, 6, 8, and 11, interferon α2 and γ, tumor necrosis factors TNFα (cachectin) dan TNFβ (lymphotoxin), macrophage-inflammatory protein MIP 1 dan sebagainya. Diduga bahwa sitokin mencapai jaringan otak sekitar ventrikular (circumventricular organs of the brain)yang tidak memiliki sawar darah otak (blood brain barrier). Oleh karena itu, sitokin dapat menyebabkan reaksi demam pada organ tersebut atau yang dekat pada area preoptic dan organum vasculosum lamina terminalis (OVLT) dengan menggunakan prostaglandin PGE2 (A2). Obat penurun panas (antipiretik) bekerja dalam proses ini. Sebagai contoh, asam asetilsalisilat dapat menghambat enzim yang merubah asam arakhidonat menjadi PGE2 (cyclooksigenase 1 dan 2).


Pada injeksi i.v. lipopolisakarida, sitokin-sitokin yang telah disebutkan sebelumnya ditemukan hanya 30 menit setelah onset demam dan kemunculannya dapat dihambat dengan subdiaphrgmatic vagotomy. Hal ini menunjukkan bahwa pirogen eksogen mengaktifkan area preoptik dan OVLT juga melalui serabut aferen dari abdomen. Kemungkinan substansi pemberi sinyal yang dilepaskan dari sel Kupffer hepatik (? cytokines, ? PGE2) mengaktifkan dekat serabut-serabut aferen vagal yang mengirimkan sinyal pirogen melalui nukleus solitarius ke kelompok sel norepinefrin A1 dan A2. Kemudian akan berjalan dari ventral norepinefrine tract ke neuron yang mengatur panas di area preoptik dan OVLT (A3). Norepinefrin yang telah dilepaskan di daerah tersebut menyebabkan pembentukan PGE2 dan menimbulkan demam. Selain itu, epinefrin juga menyebakan pelepasan adiuretin (ADH; efek reseptor V1), α-melanocyte-stimulating hormone (α-MSH), dan corticotropin-releasing hormone corticoliberin (CRH), yang akan meredakan demam melalui feedback negatif dalam pembentukan antipiretik endogen (A4).


Demam dapat menyebabkan berbagai macam efek seperti peningkatan heart rate (8-12 kali/menit tiap kenaikan 1°C) dan metabolisme energi, sehingga mengakibatkan rasa lelah, nyeri sendi dan kepala, peningkatan gelombang rendah saat tidur atau slow-wave sleep (yang merupakan fungsi penyembuhan pada otak). Dan pada beberapa keadaan dapat menyebabkan gangguan kesadaran dan mental (fever delirium) dan kejang.


Demam bermanfaat untuk melawan infeksi. Peningkatan suhu tubuh akan menghambat replikasi bahkan mematikan beberapa patogen. Selain itu, konsentrasi Fe, Zn, dan Cu dalam plasma akan menurun dan sel-sel diserang oleh virus akan dihancurkan, sehingga replikasi virus akan terhambat. Oleh karena itu, penggunaan antipiretik hanya digunakan jika demam dapat menimbulkan febrile convultion (kejang demam), yang sering terjadi pada bayi dan balita, atau suhu tubuh meningkat sangat tinggi (> 39°C) sehingga dapat menyebabkan kejang.



Silbernagl, S. & Lang,F. (2000) Color Atlas of Pathophysiology, New York: Thieme.